Matahari tepat berada di atas kepala saat La Hadi dan
kakeknya menurunkan ikatan bambu dari pundaknya. Keduanya kemudian menyandarkan
bambu itu pada pohon rindang di tepi jalan setapak yang biasa mereka lalui.
Kegiatan itu selalu dilakukan untuk penyambung hidup sebagai pembuat dinding
bambu. Kepindahan La Hadi ke kampung menjadi berkah tersendiri bagi kakeknya.
Bukan hanya dapat membantunya akan tetapi kehadiran La Hadi telah membuat hati
kakeknya menjadi lebih riang. Banyak hal yang dipercakapkan walaupun mungkin
tidak penting jika orang lain mendengarnya. Namun bagi La Hadi cerita kakeknya
selalu unik untuk dicermati.
“Aku kagum kakek masih kuat memikul bambu.”
“Inilah keahlian kakek yang diwariskan turun temurun.”
“Aku tidak mau menjadi pembuat dinding bambu, kek.”
“Memangnya kakek bilang begitu?”
“Tapi kakek bilangnya warisan turun temurun, berarti
kakek akan mewariskannya padaku.”
“Kalau kamu mau kenapa tidak?”
“Pokoknya aku tidak mau kek. Aku akan bersekolah agar
bisa kerja yang lebih bagus dari pekerjaan pembuat dinding bambu. Lama kelamaan
tidak ada lagi yang memesan dinding bambu.”
“Baguslah kalau kamu berpikiran seperti itu, Kakek
suka itu. Di zaman dahulu walaupun sekolah tinggi susah untuk mencari kerja
yang layak.”
“Memangnya kakek dahulu tidak sekolah?”
“Sekolah dong…”
“Kenapa kakek tidak cari kerja yang bagus?”
“Sekolah kakek hanya sampai kelas tiga di Sekolah
Rakyat. Tapi itu belum cukup untuk bekerja karena harus pindah ke kota untuk
melanjutkanya. Setelah itu barulah bisa bekerja.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar