SEHARI DI TAPUWATU
(Donasi Alumni 89 SMPN 3 Kendari ke Tapuwatu)
Mentari pagi belum lama
menyapa bumi, ketika rombongan Alumni 89 SMPN 3 Kendari meninggalkan tapal
batas Kota Kendari di sisi Utara. Perjalanan kali ini bukan sekedar mengenang
masa lalu, akan tetapi mengemban sebuah misi yang mulia. Pagi ini (30/6/2017)
suhu berkisar 240 C dengan langit sedikit berawan di tempat kami
berada saat itu.
Tujuan tim adalah ajangsana
sosial kemanisuaan di Desa Tapuwatu. Sesaat diperjalanan rombongan berhenti untuk menjemput Bapak Suryadi, S.Pd.,M.Pd
selaku Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Konawe. Disamping sebagai salah satu
Alumni, beliau juga mengenal medan yang akan ditempuh. Memang bukanlah
pekerjaan mudah untuk bisa sampai ke tempat tersebut. Medan yang berat harus
membutuhkan matalalang handal untuk
menguasai wilayah yang akan dilalui.
Jalan yang berlubang
dengan kubangan air ditemui semenjak meninggalkan jembatan Pohara. Penyebabnya
adalah banjir yang terjadi di akhir Mei dan pertengahan Juni tahun ini. Luapan
air itu telah merendam sebahagian besar Kabupaten Konawe sehingga menyebabkan
fasilitas jalan menjadi rusak. Inilah yang diungkapkan Suryadi saat seorang tim
bertanya saat itu.
Hari yang cerah tanpa
curah hujan menjadikan perjalanan tidak seberat yang dibayangkan. Walapun mobil
yang digunakan sempat kandas, namun landasan yang keras membuat putaran ban
tetap normal berjalan. Beberapa jembatan darurat buatan warga tetap digunakan
untuk bisa sampai di Desa Tapuwatu.
Marwiah selaku koordinator
kegiatan kemanusiaan Alumni 89 SMPN 3 Puuwatu mengungkapkan alasan pemilihan lokasi ajangsana sosial ini.
Mereka itu jarang tersentuh karena jarak yang jauh dan akses jalan yang berat.
Kebutuhan hidup yang mendesak dan harta benda yang tidak bisa diselamatkan
menjadi pertimbangan yang utama. Itulah ungkapannya saat dimintai keterangan
selama perjalanan.
Setelah melewati tebing
dan jalan yang berbatu, rombongan akhirnya tiba di Depan SDN 10 Asera. Butuh
waktu sekitar tiga jam untuk sampai dipusat bencana. Tempat ini merupakan
kawasan penampungan pengungsi oleh Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD).
Beberapa tenda orange didirikan sebagai tempat sementara bagi 81 KK warga Desa
Tapuwatu.
Sekertaris desa dan
koordinator lapangan tanggap darurat menyambut kedatangan rombongan. Penyerahan
bantuan dilakukan secara simbolis di depan tenda penampungan donasi. Marwia,
Suryadi, Mustika dan Agustina menjadi perwakilan alumni. Beberapa kebutuhan
pokok berupa pangan siap saji dan setengah jadi mendominasi barang yang
diserahkan. Pakaian layak pakai, alas tidur dan perlengkapan bayi merupakan
jenis barang tambahan yang ikut diserahkan. Mustika mengungkapkan, semua
keperluan pengungsi ini merupakan seumbangan yang terkumpul selama dua pekan.
Sumbernya berasal para alumni Angkatan 89 SMPN 3 Kendari. Baik yang berdomisili
di Sulawesi Tenggara maupun diluar provinsi.
Sebenarnya keinginan
kami, donasi barang kebutuhan ini akan diserahkan secara langsung pada korban
bencana. Namun untuk lebih efektif dalam pembagiannya, pihak penanganan bencana
Desa Tapuwatu memusatkan penampungannya. Hal tersebut diungkapkan Agustina,
salah satu alumni yang turut dalam rombongan.
Suasana menjadi hening
ketika beberapa warga yang menjadi korban menceritakan kejadian banjir bandang
tersebut. Salah satunya Ibu Hasiina. Wanita paruh baya yang telah lama
ditinggal suaminya yang meninggal dunia. Dia memulai kisahnya dengan suara yang
pelan tentang perasaan yang dialaminya. Memboyong empat orang cucu bersama
anaknya saat mengungsi bukan pekerjaan mudah. Resah dan ketakutan menyelimuti
pikiran dan hatinya dalam berjuang mencapai dataran tinggi di saat hujan.
Sebenarnya waktu banjir pertama saya belum hawatir, karena biasanya ditahun
sebelumnya hanya sebatas lutut. Namun lama-lama airnya makin tinggi. Jadi kami
semua memutuskan untuk mengungsi, katanya.
Suwidno yang juga duduk di tenda pengungsian
mengkapkan sisi lain dari bencana itu. Beliau berkata bahwa banjir saat itu
bukan hanya sekali. Bahkan longsor terjadi ditempat pengungsian saat hujan
masih mengguyur desa kami. Situasi yang membahayakan itu, akhirnya memaksa kami
untuk berpindah ke tempat ini. Untung saja hujan yang lebat dan naiknya air
Singai Lasolo terjadi pada siang hari. Jadi kami semua mudah dengan cepat
mencari jalan ketempat yang lebih tinggi, lanjutnya.
Seorang warga yang enggan
menyebutkan namanya, mengungkapkan mengapa desanya bisa dilanda banjir bandang.
Lokasi desanya yang berada tepat antara pertemuan Sungai Lasolo dan Lalindu
serta geografis wilayah pada pinggir sungai yang rendah menjadi penyebab
utamanya. Air yang naik dengan cepat dan tiba-tiba menyebabkan semua warga
tidak lagi memikirkan harta bendanya. Urusan nyawa dan keluarga menjadi hal
yang utama waktu itu.
Pemantauan di kawasan
bencana terlihat puing-puing beton, potongan kayu besar, tumpukan dedaunan yang
menggunung serta hamparan pasir dan kerikil menghiasi lahan dalam skala luas
dan rata. Hanya beberapa rumah dan sebuah masjid yang masih berdiri dengan
kokoh. Sarana sekolah mengalami rusak berat. Tower air yang diberikan pada
masyarakat sebanyak 30 buah hanya menyisahkan pecahan besar dan sebagian hilang
terbawa banjir. Penampung air itu merupakan realisasi program dana desa tahun
ini. Tapak jalan hanya berupa hambaran kerikil dengan bibir selokan yang masih
terlihat jelas.
Saat mengitari reruntuhan
rumah warga, ada sesorang wanita tua yang tengah mengais puing-puing tumpukan
rongsokan. Perempuan itu bernama Zubaedah. Dia mencari beberapa benda yang
masih bisa dipakai. Tangannya yang telah keriput berupaya mengangkat beberapa
potong kayu yang menindih lantai rumahnya. Namun setelah beberapa lama, tidak
satupun barang yang bisa diambilnya. Beberapa barang yang didapat telah
diamankan pada tenda pengungsian.
Sambil berkelakar,
beberapa pertanyaan terlontar pada anak-anak kecil yang asik bermain di halaman
pengungsian. Rupanya sebagian mereka tidak lagi mau untuk kembali bersekolah.
Sekolah rusak, bukuku hilang dibawa banjir dan tidak ada lagi baju sekolah yang
bisa di pakai. Itulah keluh kesahnya dalam percakapan siang itu.
Entah, bagaimana mereka
bisa menjalani hidup. Membangun rumah sudah tidak mungkin, jalan keluarnya bisa
melalui program realokasi. Akankah kemungkinan itu bisa menjadi kenyataan?
Masalah mereka memang telah berat. Makan hari ini belum tentu sama nikmatinya
pada esok hari. Semua masih bergantung bantuan dan uluran tangan para dermawan.
Semoga harapan baru bisa terwujud untuk membawa kehidupan baru bagi para
pengungsi.
Jam tangan telah
menunjukkan pukul 16.40 Wita, saat kami mulai bergerak meninggalkan lokasi
bencana. Hujan rintik mulai turun dan langit mulai berawan tebal. Tentunya ini adalah
keresahan bagi para pengungsi dan rombongan. Was-was akan datangnya banjir
susulan tentu mengahantui pikiran para korban. Bagi rombongan, hujan merupakan
tantangan dalam menempuh jalan pulang. Tumpahan air laingit itu akan
menyebabkan jalan menjadi licin serta genangan air yang meninggi.
Setelah menempuh sekitar
hampir empat jam, akhirnya rombongan tiba dengan selamat di Kota Kendari pada
pukul 20.10 Wit. Semuanya lega, walaupun penuh dengan rintangan yang membuat
jantung berdebar. Betapa tidak, berjalan malam dengan jalan yang licin,
berlibang serta penerangan yang minim, membuat kendaraan tidak dapat bergerak
dengan cepat. Segala amanah yang diberikan kawan-kawan Alumni 89 SMPN 3 Kendari
kini telah ditunaikan. Semoga segala manfaat akan diperoleh oleh semua pihak.