Catatan Kecilku - Nilai tidak penting, hati dan jiwa
jauh lebih bermakna
Mengajar harus berproses. Hasilnya
tidak Nampak secepat cahaya. Bukan persoalan pintar, google dan aplikasi jauh
lebih unggul. Mengajar dalam sekolah berarti mendidik. Inilah yang menjadi
pegangan dalam beramal.
Aku bukan sok jago dan ingin lebih
baik. Guru itu manusia, semua tidak ada yang sempurna. Olehnya itu, ajar bukan
sekedar tahu namun paham. Itulah harus ada timbal balik. Jika searah namanya
otoriter. Itulah mengapa nilai dalam angka hanya sepele dan tidak begitu
penting. Karakter dan amalan pelajarannya menjadi yang utama.
Apalah artinya jenius namun salah tindak dan akal, tentu membawa
bencana. Inilah keunggulan manusia kreatif serta berkemauan positif. Walaupun sedikit ilmu jika bermanfaa akan
membawa banyak hal baik.
Mungkin ada yang tidak sependapat
ataupun menentang opini ini. Itu lumrah! beda berpikir tentu cara pengabdiannya
pun berbeda. Setiap orang memiliki trik tertentu dalam menjalani hidup. Nah…Ini
adalah gaya pilihanku dalam mencuri amal. Sudilah menyimaknya agar bisa
memahani hati dan pikiranku.
Pengajar bagai petani. Benih yang
ditanam akan terlihat tiga hingga enam bulan kemudian. Jangan hanya tau cara
menanam! Memelihara dengan hati menjadi penting. Selalulah cari tau dan selalu
mencoba yang baru tentunaya! Hal itu bisa menjadi jembatan keberhasilan panen
yang melimpah. Begitulah mendidik, tidak hanya sekedar mengajar. Membimbing
jauh lebih bermakna. Mau pintar, melalui google pun bisa kan?
Ingatlah, seseorang tidak perlu
pintar, karena pandai jauh lebih
bermakna. Ingat cerita kancil dimasa kecil? Perlu diceritakan Kembali tentang
akal monyet dan kura-kura? Pandai pun tidak cukup jika jiwa dan hati
bersebelahan jauh. Tentu salah satunya harus mampu beradaptasi serta
bersosialisasi dengan baik. Tekun,
rajin, bertanggung jawab, jujur, tidak berputus asa, tau kesalahan dan
keunggulan, bersaing dengan sehat untuk maju serta nilai-nilai lain yang
bermanfaat.
Sentuhan lembut pada padi bukan
hanya memupuk tetapi juga mencegah gulma dan hama. Apalagi anak manusia? Banyak
pengaruh yang datang dalam belajar. Disinilah riset kecilnya. Berbincang dengan
mereka mengandung arti yang penting. Ada kritik maupun masukan. Bukankah
kegagalan awal memulai keberhasilan. Banyak masalah belajar yang terungkap. Itu
berarti harus ada perubahan. Pupuk maupun pembasmi hamanya tidak sesuai.
Menggantinya butuh perhitungan yang matang.
Orang tua punya penjelasan. Banyak
pelajaran yang dipetik. Nasihat bisa keluar dari lisan, ketika zona anak
menyimpang. Aturan harus tegas namun tidak mengikat. Selalu ada pengecualian
yang positif. Bukan memudahkan tetapi membelajarkan. Hasil bukan sekedar upaya
guru dan murid. Butuh perhatian orang tua sebagai sahabat terdekat mereka.
Banyak hal yang dipetik. Banyak pula
pujian dan harapan yang terucap dengan lantang. Semua refleksi bagi pengajar
penentang jaman. Keluh dan kesah itu menjadi acuan penting dalam menilai. Tentu
ada tagihan namun tidak berat untuk dipikul. Ini jangan terabaikan agar tidak
terasa gratis serta jauh manfaat. Tetapi ingat, asas adil dan berkesinambungan
itu jangan terlupakan. Berbincang dengan siswa dan orang tua dapat membantu
proses selanjutnya.
Umur Panjang, mereka akan ditemui
tahuan ajaran mendatang. Jika digampangkan akan membawa bencana. Riang
kemenangan mereka, tamparan keras buatku. Manja, pandang enteng, menganggap
remeh dan selalu cuek adalah efeknya. Aku pun tidak ingin kejadiannya membawa
petaka.
Ungkapan “setiap orang membawa
rezekinya” dan “tidak ada yang tahu masa depan seseorang” serta “kadang orang
yang dianggap buruk bisa baik nantinya” adalah benar. Tetapi rezeki, masa depan
dan perubahan itu adalah proses. Bukankah semua itu perlu usaha dan pemikiran?
Aku tidak ingin berikan hal yang sedikit pada mereka. Harapanya adalah
mendapatkan pahala lebih banyak. Tentu dari
sedikit upaya kecil pada tindakanku.
Hati kecil dan keinginan besarku,
mereka tetap naik kelas dengan nilai yang minimal cukup. Harapan itu telah
terabit dalam keputusan. Namun bantulah aku untuk melihat senyuman mereka lebih
lebar. Kabarkan saja untuk datang menghadapku. Sebagai pendidik aku ingin
melihat senyuman mereka lebih lebar dan sangat bahagia, tetapi bukan sekarang.
Nanti setelah mereka beranak-cucu. Bahwa baktiku membawa hal baik dalam
dirinya.
Bukan dari kebaikanku dengan
memberikan nilai gratis. Semuanya adalah usaha mereka sendiri. Aku hanya
memotivasi dan memberi jalan keluar terbaik. Kelak cerita ini akan sampai
beranak-cucu. Mereka itu wartawan kecil. Penyebar berita kebanyak penjuru.
Ingin sekali, kabar dan beritanya baik untukku maupun tempat abdiku. Inginku,
orang lainnya menganggap baik, sehingga bisa mendengar sapaan kecil tentang
kerjaku dan kinerja sekolahnya.
Upayaku mengajar dengan hati memang
tersandung corona. Tapi caraku sudah maksimal sebagai guru penantang jaman.
Sudilah memberikan kesempatan untuk membangun jembatan pensil. Usahaku kini
ingin ku tuai saat esok dan lusa. Memang keras dan sedikit merepotkan. Namun
perhatian khusus sangat aku butuhkan. Aku berharap besar kelak, ulah dan cara
mereka akan berubah. Minimal menghargaiku sebagai guru karena aku menilai
dengan sepenuh hati.
Ada kata pepatah yang terus
teringat. Jika ingin sesuatu, usaha adalah jalannya. Jangan berharap buah manis
jika tidak menyemai. Semoga upaya tidak menghianati hasil. Tidak ada makan
siang enak yang gratis. Walaupun itu hanya setitik sedekah. Minimal sebuah doa
dan Tindakan baik yang bisa menghantarkannya. Ikhtiar itu selalu didahului
usaha. Tanpa itu, hampa namanya.
Berikan aku kesempatan, menilai
mereka dengan hati dari usahanya. Bukan keras dalam menilai tetapi kelembutan
hatiku lah penyebabnya. Tersimpan keinginan besar, agar kelak mereka berhasil
dengan kesan yang baik.
Aku sisipkan kisahku hari ini. Guru
senior menjadi penjaga loket membawa hikmah tersendiri. Saat berhadapan dengan
seorang ibu muda mendapat sanjungan yang tidak terduga.
“Aku rindu dengan tanda tangan keren
itu pak.” Katanya sambal mengamati validasi berkas yang aku lakukan.
“Memangnya kepanap bu?” Tanyaku.
“Dahulu, buku pelajaranku banyak
dibubuhi oleh tanda tangan bapak. Cap tangan yang keren itu selelu bersanding
dengan nilai hasil kerjaku.”
“Ah, semua guru juga begitu nak.”
“Tapi, bapak yang paling banyak dan
rajin menilai.”
“Memangnya apa kelebihan tanda
tangan ini nak.”
“Rapi dan memotivasi saya untuk
berubah.”
“Memangnya dahulu kamu malas
mengerjakan tugas?”
“Boleh dibilang begitu, tapi catatan
kaki yang bapak berikan selalu memberiku petunjuk untuk berubah.”
“Ah, nak. Itu masa lalu.”
“Tidak pak. Anak saya ini ingin diajar
oleh bapak. Semoga kelak dia bisa berubah lebih baik dari saya.”
Pujian itu sebagai pamungkas berkas
pendafataran yang dikerjakan. Sehari menjadi renungan. Kerja kecil itu masih
diingat setelah 10 tahun berlalu. Dahulu ibunya, kini anaknya bersekolah di
tempat yang sama. Padahal kadang aku hanya memberikan nilai minimal cukup untuk
naik ke jenjang berikutnya. Bukan nilai kurang sehingga mereka tertunda
rezekinya.
Inilah salah satu pohon padi yang
aku temukan. Sebagai pengajar, ingin bulir padi itu besar, wangi dan rasanya
enak dimakan. Butiran lainya bisa menjadi benih selanjutnya. Bahkan kepandaian
mereka dapat membuat bibit yang lebih unggul. Tindaknya dapat membawa
kesejahteraan pada orang banyak. Semoga amal jariah itu tetap lahir setiap
musim panen yang melimpah.