MEMUPUS RESAH DENGAN
PENERBANGAN PERDANA (BAGIAN !)
Langkah kaki dari kantin
sekolah terhenti seketika. Pandangan terarah pada Dewi yang duduk menyendiri.
Arah pun berubah haluan. Duduk didekatnya sambil menawarkan minuman gelas.
Gadis itu hanya menatap sesaat lalu tertunduk lagi. Akupun meletakkan tempat di
samping kanannya.
“Kamu lagi sakit ya?” Tanyaku.
Dia hanya menggeleng lalu meraih minuman yang berada disampingnya.
“Saya ambil teh gelas ya pak?”
“Boleh.”
Lama terdiam, aku pun mulai
mencoba memecah kesunyian siang itu.
“Ini sudah masuk jam
berikutnya.”
“Maaf pak, pikiran saya lagi
kacau.”
“Lantas…”
“Saya ingin duduk-duduk dulu
di luar pak.”
“Nanti kamu, alpa. Memangnya
kenapa nak?”
Dewi akhirnya bercerita
tentang kegalauan hatinya. Diahir liburan, Lina bertanda ke rumahnya.
Tetangganya itu bercerita tentang keceriaan semasa liburan. Situasi naik
pesawat, berkeliling Kota Yogja, makan di Malioboro hingga pengalaman
berkunjung di rumah pamannya. Kedatangannya bukan hanya membawa buah tangan
namun berbagai foto kisah liburannya.
“Apa yang salah dari cerita
itu nak?”
“Saya sedih pak guru.”
“Sedih? Bukanya kamu kebagian
oleh-oleh?”
“Bukan begitu pak.”
“Lantas?”
Kina sudah lima tahun
menceritakan kisah berbedanya. Setiap liburan tempatnya tidak sama. Dewi merasa
ada yang tidak adil dalam hidupnya. Lahir dari keluarga sangat sederhana yang
berbeda jauh dengan Lina. Tetangganya itu memiliki kehidupan yang lebih dari
berkecukupan.
“Berarti kamu itu tidak
senang.”
“Bukan iri pak.”
“Nah, kamu yang bilang itu ya?
Bukan Pak Guru.”
“Wah, maaf pak.”
Dewi bertetangga dengan Lina.
Tempat disamping kanan rumahnya berdiri kokoh bangunan berlantai tiga. Itulah
rumah Lina yang bersebelahan dengan gubuk kecil tepat di samping pagarnya. Dewi
memiliki seorang adik laki-laki. Ayahnya bekerja sebagai satpam di kantor
ayahnya Lina. Ibunya pedagang sayur keliling. Begitulah yang terungkap dalam
cerita siang itu.
“Apa sih yang pikirkan nak?”
“Bapak ingin tau ya?”
“Bisa jadi, Pak Guru memberi
jalan keluar.”
“Tapi, bapak bisa janji?”
“Tidak cerita sama temanmu?”
“Iya pak.”
“Oke.”
Dewi ingin seperti Lina. Bisa
liburan sehingga punya cerita saat masuk masuk sekolah. Sadar akan keadaannya,
membuatnya bersedih hati. Seharusnya Lina tidak usah datang kerumah bercerita
tentang kegembiraannya saat berlibur. Namun Dewi tidak bisa menolaknya.
Begitulah ungkapan bintang kelas VIII sambil menyeka keringat dan air matanya.
Terdiam lama lalu beranjak
dari tempat duduk tanpa berbicara sepatah katapun dengannya. Langkah kaki
dipercepat. Setelah masuk ruangan, pintu
pun dirapatkan. Tiba-tiba terdengar ketukan dari luar.
“Masuk!” Hampir bersamaan
dengan suara grendel dan engsel yang
nyaring.
“Pak, saya mau minta maaf.”
“Memangnya kamu salah apa
nak?”
“Bapak mungkin marah ya.”
“Mengapa kamu berpikir
begitu?”
“Pak guru langsung pergi.”
“Oh, begitu…! Duduklah dulu.”
Saya menarik laci meja lalu
menyerahkan sebuah amplop tebal kepadanya.
“Apa ini pak?”
“Nanti kamu baca baik-baik
ya!”
Setelah tidak mendapatkan
jawaban yang pasti. Wajah anak itu terlihat memerah. Keringatnya bertambah
banyak. Terlihat tangannya gemetar saat mengambil pemberian tiba-tiba itu.
“Ini surat panggilan orang tua
pak?”
“Bukan. Kamu harus janji.
Nanti dirumah baru kamu membukanya.”
*
Keesokan harinya, terlihat
sesosok siswa perempuan berdiri di depan pintu kesiswaan. Setelah dekat,
barulah nampak wujudnya secara jelas.
“Dewi?”
“Iya pak. Saya ijin
menghadap.”
“Ayo, masuk!”
Wajah peringanya kembali
terlihat. Dia mulai menjelaskan keinginannya untuk mengikuti kompetisi tingkat
nasional itu. Perempuan sederhana itu meminta untuk dibimbing hingga proyek
yang direncanakannya. Tidak lupa mencium tangan untuk pamit dari ruangan.
Hari selanjutnya menjadi
kesibukan yang tinggi. Memilihnya untuk mengikuti lomba menjadikan pekerjaan
kian bertambah. Tetapi ada kebahagiaan tersendiri dalam berkolaborasi
dengannya. Kejeniusannya dalam menerima saran dan arahan membuat pekerjaan
menjadi lebih mudah.
Dua bulan telah berlalu.
Laporan yang dibuat tinggal menyisahkan kegiatan finishing. Setelah menjilid
dan membeli amplop besar untuk pengemasan, kami pun berbincang singkat.
“Nah, ini sudah kelar semua.
Tinggal pengiriman di kantor pos.”
“Saya punya permintaan pak.”
“Asal jangan yang aneh-aneh
saja.”
“Jika biasa, saya ingin
membawa laporan ini ke rumah sebelum dikirim.”
“Untuk apa nak. Kalau hilang
atau rusak bagaimana?”
“Saya janji pak, akan
menjaganya.”
Melihat wajahnya yang serius,
hati pun luluh. Kegirangan kembali terlihat. Anak itu berjalan sambil berlari
kecil dengan lagu yang hampir tidak terdengar.
*
Keesokan harinya…
“Ini pak, laporannya.”
“Memangnya untuk apa barang
ini dibawa pulang?”
Keinginannya yang kuat untuk
mengikuti lomba sangat kuat. Karya itu diperlihatkan pada kedua orang tuanya.
Meminta ibunya mendoakan untuk keberhasilannya. Kala tidur, laporan itu
disimpan dibawah bantal. Ingin rasanya, Allah mengirimkan pesan dalam mimpinya.
“Ilham apa yang kamu dapat
dalam tidurmu nak?”
“Susah untuk diungkapkan pak.”
“Apakah itu sebuah rahasia?”
“Bisa jadi pak.”
“hem…”
Laju motor yang kami tumpangi,
akhirnya tiba di pusat pengiriman barang. Anehnya, anak itu belum pernah
berkunjung di tempat itu. Gadis remaja rumahan hanya tahu jalan pergi dan
pulang sekolah. Selain menuliskan alamat pengiriman, saya menyuruhnya untuk mengirimkan
sendiri karya itu. Dipeluknya palop coklat itu sebelum diserahkan pada petugas
pos. Sebelum melangkah keluar, lengan baju terasa ditarik dengan kencang.
Permintaan lain akhirnya diutarakannya.
“Apakah bapak tidak keberatan,
saya ingin makan pisang ijo di pinggir pantai.”
Sambil terdiam sejenak, saya
pun mengangguk.
“Tenang saja pak, saya yang
traktir.”
“Memangnya kamu punya uang?”
“Iya pak, saya memecahkan
celengan kelinci yang telah penuh.”
“Hanya untuk traktir bapak?”
“Wah…”
Saya terharu dengan kejadian
itu. Setelah berjalan kurang lebih 15 menit, kami pun tiba di kedai pisang ijo.
Menghadap ke arah pantai membuat suasana menjadi berbeda. Makanan yang dipesan
tidak lagi dihiraukannya. Hanya sesekali sendoknya difungsikan. Tatapannya
banyak diarahkan ke lautan lepas.
“Kamu belum pernah ke sini
ya?”
“Belum pak.”
“Kenapa?”
“Terlalu sibuk mungkin.”
Saya tidak dapat menahan tawa.
Rupanya gadis kecil ini belum pernah diajak jalan sejauh ini. Malam minggu saja
sibuk membantu ibunya menyiapkan jualan untuk esok harinya. Begitulah
pengakuannya saat jalan pulang menuju sekolah.
*
Sebulan telah berlalu. Lomba
itu hampir hilang dalam ingatan. Tiba-tiba, Pak Pos datang disiang hari. Saat
semua hendak pulang, sebuah surat diterima tepat didepan pintu gerbang. Melihat
pengirimnya, firasat baik muncul seketika dalam pikiran. Tanpa berpikir
panjang, saya mencari sosok Dewi dari tempat ketinggian. Tetapi firasat itu
bukan hanya saya yang rasakan. Gadis lincah itu tiba-tiba muncul didepanku.
“Bapak mencari saya?”
“Siapa yang beritahumu, nak?”
“Hanya tanya saja pak…he…he.”
Surat yang masih tersampul
rapi itu dimasukan dalam tas gadis itu.
“Nak, amplop ini dibuka
setelah tiba di rumah.”
“Memangnya kenapa pak?”
“Pulanglah nak.! Hati-hati di
jalan ya.”
Belum masuk di pagar rumah.
Anak itu sudah muncul di depan jalan. Wajahnya terlihat sedikit sedih. Matanya
berkaca-kaca. Ketika motor tuaku terparkir, gadis itu datang langsung meraih
tangan lalu menciumnya.
“Terimakasih pak guru. Mimpi
segera terkabulkan.”
“Memangnya kamu mimpi apa
nak?”
“Mimpi terbang dengan pesawat
yang berbeda-beda.”
“Lantas?”
“Surat ini adalah panggilan
mengikuti lomba di Jakarta pak.”
Setelah makan siang. Kami
membahas apa yang harus dilakukan untuk persiapan keberangkatan. Sesuai isi
surat, guru pendamping ikut serta dalam kegiatan itu. Orang tuanya turut
memberikan saran dalam pembicaraan itu.