Menginginkan kebebasan dalam kukungan kekuasaan, bagai
mengurai benang kusut menjadi pintalan. Kebenaran seirama dengan kebatilan dan
penindasan. Jangankan berharap menggapai nikmat, merajut kasihpun tertindas oleh keserakahan
pemilik tahta. Kekejaman seakan tanpa batas,
sehingga mengurai persaudaraan menjadi permusuhan. Itulah rima setiap
ungkapan rakyat Kambala. Salah satu kampung kecil di wilayah Lahontohe bentukan kaum penjajah. Kampung yang seharusnya bisa makmur
dengan subur dan sejuknya hamparan hijau yang membentang.
Kehadiran bangsa pendatang menjadi penyebab Wa Ndolasa
menentang setiap kebijakan ayahnya sebagai Parabela.
Sebagai penguasa kampung yang seharusnya perpihak pada rakyatnya, akan tetapi
tekanan bangsa pendatang telah memupus kearifan serta kasih sayangnya.
“Saya hanya mengingatkan ayah. Kepemimpinan ayahanda
telah banyak diperbincangkan oleh penduduk kampung.” Kata Wa Ndolasa dihadapan Parabela.
“Sudahlah, saya tidak butuh nasihat yang
berulang-ulang itu.”
“Tapi ayah, rakyat sudah sangat menderita.”
“Ah, pikiranmu itu pasti karena pengaruh temanmu yang
sok pahlawan itu.”
“Apakah salah, jika ia membantu rakyat yang menderita?”
“Yang salah karena mempengaruhi pikiranmu. Apakah
keluarga kita bisa hidup jika tidak mengikuti perintah bangsa pendatang itu?”
“Ayah pemimpin, punya banyak rakyat, perkataan selalu
didengar dan bisa menentang mereka.”
“Menentang pakai apa? Mereka memiliki persenjata yang
lebih baik dan rakyat kita….”
“Bukankah penyebabnya ayah sendiri. Coba seaindainya
dulu ayah mau mendengarkan pendapat aku dan ibu, pasti keadaanya tidak menjadi
seperti ini.”
“Sudalah, jangan ceramahi ayahmu ini.”
“Jika ayah tidak mau berbuat maka jangan salahkan aku
untuk bertindak sesuai pikiranku.”
Selanjutnya...............tunggu bukunya terbit ya!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar