KADEK AGUS DARMA LAKSONO (13)
Hari ini saya ingin menceritakan pengalaman saya membuat bekal untuk dibawa ke sekolah. Bekal yang saya bawa terdiri dari nasi putih, mie goreng, telur ceplok, dan ayam goreng. Saya akan menjelaskan proses pembuatannya dan juga zat aditif yang mungkin terkandung di dalamnya.
Pertama, saya menyiapkan nasi putih. Nasi dimasak menggunakan beras dan air di rice cooker hingga matang. Kedua, saya membuat mie goreng. Mie instan direbus terlebih dahulu, lalu dibuang airnya dan ditumis dengan bumbu. Bumbu mie instan biasanya mengandung zat aditif seperti pengawet (untuk menjaga keawetan mie), pewarna (untuk mempercantik warna), dan penyedap rasa seperti monosodium glutamat (MSG).
Setelah itu, saya membuat telur ceplok. Telur digoreng menggunakan sedikit minyak hingga matang. Minyak goreng kemasan biasanya juga mengandung zat antioksidan seperti BHA atau BHT untuk mencegah minyak cepat tengik.
Terakhir, saya menggoreng ayam. Ayam biasanya diberi bumbu sebelum digoreng. Jika menggunakan bumbu instan, kemungkinan mengandung pewarna makanan, penguat rasa, dan pengawet.
Bekal ini saya susun di kotak makan: nasi di bagian bawah, lalu mie goreng di sebelahnya, telur ceplok di atas nasi, dan ayam goreng di sampingnya.
Dari pengalaman ini, saya menyadari bahwa meskipun bekal yang saya bawa terlihat sederhana dan lezat, beberapa bahan di dalamnya mengandung zat aditif yang berfungsi untuk menjaga rasa, warna, dan daya simpan. Namun, penggunaan zat aditif sebaiknya tetap dibatasi agar makanan yang kita konsumsi lebih sehat.
Rasya Ariyandi A. Kls:9.3
Saya ingin Ceritakan ini refleksi tentang zat aditif pada sarapan pagi, . Zat aditif adalah zat yang ditambahkan ke makanan untuk tujuan tertentu seperti pengawet, pewarna, atau penyedap rasa.
Refleksi Sarapan Pagi
Pagi itu, aku duduk di meja makan dengan piring berisi nasi goreng sosis dan telur mata sapi, ditemani semangkuk kecil sayur tempe. Aroma sedapnya langsung membuat perutku keroncongan. Namun, saat menyendokkan suapan pertama, pikiranku tiba-tiba melayang.
Nasi Goreng
Rasa gurih dan warnanya yang cokelat pekat membuatku sadar. Kenapa nasi goreng buatan rumah sering kali terasa berbeda dengan yang dijual di warung? Ternyata, banyak warung menambahkan monosodium glutamat (MSG) sebagai penyedap rasa. Zat aditif ini membuat nasi goreng terasa lebih "nendang" di lidah. Aku jadi berpikir, apakah aku benar-benar menyukai rasa nasi goreng itu sendiri, ataukah aku sudah terbiasa dengan rasa yang diciptakan oleh zat aditif?
Sosis
Aku beralih ke sosis yang kugoreng hingga permukaannya agak kering. Warna merah mudanya yang cerah tampak sangat menarik. Aku tahu, warna itu bukan warna alami daging. Produsen menggunakan pewarna makanan agar sosis terlihat lebih segar dan menggugah selera. Selain itu, untuk menjaga agar sosis tidak cepat basi, mereka pasti menggunakan pengawet. Refleksi ini membuatku bertanya-tanya, seberapa banyak bahan tambahan yang sebenarnya masuk ke dalam tubuhku?
Telur dan Sayur Tempe
Namun, saat melihat telur mata sapi dan sayur tempe, hatiku terasa lebih tenang. Telur itu hanyalah telur, digoreng dengan sedikit minyak. Sementara sayur tempe, rasanya murni dari bumbu alami seperti bawang dan cabai. Di sana, aku menemukan rasa yang jujur dan apa adanya. Aku menyadari bahwa ada keindahan dalam kesederhanaan makanan yang tidak banyak diolah.
Sarapan pagiku hari itu terasa berbeda. Bukan hanya soal rasa, tapi juga kesadaran. Aku jadi lebih menghargai makanan alami dan ingin lebih bijak dalam memilih apa yang kumakan, bukan hanya yang enak di lidah, tapi juga baik untuk tubuhku.
saya Axelle Justin, siswa kelas 9.3 SMP 17 Kendari. Hari itu, seperti biasa, saya membawa bekal dari rumah. Bekalnya sederhana, tapi sangat menggugah selera—nasi goreng dengan telur dadar. Ibu yang memasaknya pagi-pagi sekali sebelum saya berangkat sekolah. Aromanya saja sudah membuat saya ingin cepat-cepat.
saya membuka bekal dengan semangat. Teman-teman di sekitar saya juga membawa bekal masing-masing, dan kami saling membandingkan menu. Ada yang membawa mi goreng, ayam goreng, bahkan ada juga yang hanya membeli jajanan di kantin.
Sambil makan, guru IPA kami lewat dan duduk sebentar menemani kami. Beliau melihat bekal saya dan berkata, “Wah, nasi goreng telur dadar, enak sekali. Tapi kalian tahu tidak, makanan seperti ini sering mengandung zat aditif?”Saya dan teman-teman terdiam sebentar. Lalu beliau menjelaskan bahwa dalam makanan seperti nasi goreng, sering kali terdapat zat aditif seperti:. Penyedap rasa (MSG / Monosodium Glutamat), yang digunakan agar rasa gurihnya lebih kuat.
Pewarna makanan, jika nasi goreng terlihat terlalu kuning atau merah, bisa jadi ditambahkan pewarna, meskipun kadang hanya dari kecap atau bumbu alami. Pengawet, jika menggunakan sosis atau bahan olahan lainnya yang dibeli di pasar. Penguat aroma, yang membuat makanan lebih harum tapi sebenarnya tidak alami.
Saya terdiam sejenak. Selama ini saya makan tanpa berpikir panjang soal kandungan di dalam makanan itu. Padahal, zat aditif jika dikonsumsi berlebihan bisa berdampak buruk bagi kesehatan, seperti sakit kepala, alergi, bahkan gangguan pencernaan.
Hari itu saya pulang ke rumah dan bertanya kepada ibu tentang bahan-bahan yang beliau pakai untuk membuat nasi goreng. Syukurlah, ibu lebih banyak menggunakan bahan alami, seperti bawang putih, kecap, dan garam tanpa MSG tambahan.
Dari kejadian itu, saya belajar satu hal penting: menjadi sehat bukan hanya tentang makan kenyang, tetapi juga tentang memahami apa yang kita makan. Sekarang, saya lebih perhatian terhadap bekal saya, dan mulai membantu ibu memasak agar saya tahu apa saja yang masuk ke tubuh saya. Itulah refleksi saya hari ini—tentang sepiring nasi goreng yang bukan hanya mengenyangkan, tapi juga menyadarkan saya akan pentingnya menjaga kesehatan sejak dini.
HIKMAH (11) 9.3
Pagi itu dikelas mengadakan kegiatan makan bersama di kelas. Semua murid diminta membawa bekal dari rumah. Aku dan ibu menyiapkan bekal spesial berisi nasi goreng yang harum, kangkung tumis segar, dan nugget ayam gurih. Bekal itu kutaruh di kotak makan warna ungu kesayanganku, lalu kubawa ke sekolah.
Jam pertama dimulai dengan pelajaran IPA. Sebelum mulai belajar, pak guru berkata, “Hari ini kita makan bersama dulu sebelum belajar.” Setelah semua murid membuka bekalnya, aroma makanan memenuhi kelas. Tak lama kemudian, pak guru memanggil kami satu per satu untuk maju ke depan agar bekalnya bisa dilihat teman-teman. Saat giliranku, aku maju sambil membawa kotak makan ungu itu. Pak guru bertanya, “Apa bekalmu hari ini?” Aku menjawab, “Saya membawa nasi goreng, kangkung tumis, dan nugget ayam, Pak.”
Setelah semua murid mendapat giliran, kami mulai makan. Sambil makan, pak guru menjelaskan materi tentang zat aditif pada makanan, yaitu bahan tambahan yang digunakan untuk memperbaiki rasa, warna, aroma, atau daya tahan makanan. Contohnya penyedap rasa (monosodium glutamat/MSG) pada nasi goreng untuk membuatnya lebih gurih, saus tomat pada nugget yang mengandung pewarna makanan, serta garam dan gula sebagai pengawet alami. Ada juga zat aditif lain seperti pewarna alami dari sayuran pada kangkung tumis.
Hari itu aku senang karena bisa makan di kelas sambil belajar. Aku juga jadi tahu bahwa zat aditif pada makanan ada yang aman jika digunakan secukupnya, tetapi bisa berbahaya kalau dikonsumsi berlebihan.
Nama: Muhammad Izza Muhyiddin Kelas: 9.3 - Refleksi Tentang Zat Aditif pada Sarapan Pagi
Zat aditif adalah bahan tambahan yang digunakan dalam makanan untuk tujuan tertentu, seperti memberi warna, menambah rasa, atau membuat makanan lebih awet.
Pagi ini, sarapanku terdiri dari nasi, telur goreng, tempe, dan mie goreng. Dari menu sederhana ini, aku mencoba memperhatikan mana yang mengandung zat aditif dan mana yang alami.
Nasi
Nasi putih yang kukonsumsi biasanya tidak mengandung zat aditif, apalagi jika dimasak dari beras murni. Rasanya netral, alami, dan menyehatkan jika dimakan dengan porsi yang tepat.
Telur
Telur goreng juga termasuk makanan alami tanpa zat tambahan, selama dimasak tanpa bumbu instan atau saus kemasan. Rasanya murni dari bahan aslinya.
Tempe
Tempe adalah hasil fermentasi kedelai dengan ragi. Proses pembuatannya alami, tanpa pengawet atau pewarna buatan. Bumbu sederhana seperti bawang dan garam membuatnya tetap sehat dan lezat.
Mie
Berbeda dengan nasi, telur, dan tempe, mie instan biasanya mengandung berbagai zat aditif seperti penyedap rasa (MSG), pengawet, dan pewarna. Inilah yang membuat rasanya gurih dan aromanya khas, tetapi sebaiknya dikonsumsi tidak terlalu sering.
Kesimpulan
Dari sarapan hari ini, aku belajar bahwa tidak semua makanan mengandung zat aditif. Namun, makanan yang terlalu banyak zat tambahan sebaiknya dibatasi. Lebih baik memilih makanan alami yang lebih sehat bagi tubuh
Nama saya Laode Salim Alviki Halis (14) siswa kelas 9.3.
Pada hari ini saya membawa sarapan pagi berupa nasi goreng, mie goreng, dan telur mata sapi. Makanan ini saya buat dengan menambahkan beberapa bahan yang mengandung zat aditif.
Zat aditif adalah bahan yang ditambahkan pada makanan atau minuman untuk memperbaiki rasa, warna, aroma, tekstur, atau daya tahan. Zat aditif bisa berasal dari bahan alami seperti garam dan gula, atau buatan seperti MSG, pewarna sintetis, dan pengawet.
Pada nasi goreng yang saya bawa, zat aditif yang digunakan adalah garam (pemberi rasa asin), kecap manis (pemberi rasa manis dan warna), penyedap rasa/MSG (penguat rasa), dan saus sambal (pemberi rasa pedas dan warna).
Pada mie goreng, zat aditifnya antara lain bumbu instan yang mengandung MSG, kecap, saus, serta minyak goreng yang kadang mengandung zat antioksidan.
Sedangkan pada telur mata sapi, zat aditif yang digunakan adalah garam dan minyak goreng.
Cara membuat nasi goreng:
Siapkan nasi putih, bawang merah, bawang putih, telur, garam, kecap manis, dan penyedap rasa. Tumis bawang merah dan bawang putih hingga harum, masukkan telur dan orak-arik, lalu tambahkan nasi. Beri garam, kecap manis, dan penyedap rasa secukupnya. Aduk hingga rata dan matang.
Cara membuat mie goreng:
Rebus mie instan hingga setengah matang, tiriskan. Panaskan sedikit minyak, tumis bumbu instan bersama kecap dan saus, lalu masukkan mie. Aduk rata hingga matang dan siap disajikan.
Cara membuat telur mata sapi:
Panaskan minyak di wajan, pecahkan telur perlahan agar kuningnya tidak pecah, taburi sedikit garam, lalu masak hingga putihnya matang. Angkat dan sajikan.
Dari sarapan pagi ini, saya menyadari bahwa hampir semua makanan yang saya konsumsi mengandung zat aditif, baik alami maupun buatan. Zat aditif memang bermanfaat untuk membuat makanan lebih enak dan awet, namun penggunaannya harus sesuai batas aman agar kesehatan tetap terjaga.
NAMA:Yudhavian Atthariz
Hari ini saya ingin menceritakan pengalaman saya membuat bekal untuk dibawa ke sekolah.
Bekal yang saya bawa terdiri dari nasi putih, kangkung tumis, hati ayam tumis, dan udang goreng. Saya akan menjelaskan proses pembuatannya dan juga zat aditif yang mungkin terkandung di dalamnya.
Pertama, saya menyiapkan nasi putih. Nasi dimasak menggunakan beras dan air di rice cooker hingga matang. Kedua, saya membuat kangkung tumis. Kangkung dicuci bersih, lalu ditumis dengan bawang putih dan sedikit garam. Jika menggunakan kecap manis atau saus, biasanya mengandung zat aditif seperti pengawet (untuk memperpanjang daya simpan), pewarna karamel (untuk memberi warna), dan penyedap rasa seperti monosodium glutamat (MSG).
Selanjutnya, saya membuat hati ayam tumis. Hati ayam dibersihkan, kemudian ditumis dengan bumbu bawang merah, bawang putih, dan kecap. Sama seperti pada kangkung tumis, kecap dapat mengandung pewarna, pengawet, dan penyedap rasa. Setelah itu, saya membuat udang goreng. Udang dilumuri tepung bumbu instan, lalu digoreng hingga renyah. Tepung bumbu instan biasanya mengandung zat aditif seperti pengemulsi, pewarna, pengawet, dan penguat rasa.
Bekal ini saya susun di kotak makan: nasi putih di bagian bawah, kangkung tumis di satu sisi, hati ayam tumis di atas nasi, dan udang goreng di sampingnya.
Dari pengalaman ini, saya menyadari bahwa meskipun bekal yang saya bawa terlihat sederhana dan lezat, beberapa bahan di dalamnya mengandung zat aditif yang berfungsi untuk menjaga rasa, warna, dan daya simpan. Namun, penggunaan zat aditif sebaiknya tetap dibatasi agar makanan yang kita konsumsi lebih sehat.
𐙚 Nama: anawula Almira N.T
𐙚 kelas :9.3
Refleksi Sarapan Pagi
Pagi itu, aku berdiri di dapur sambil memandangi adonan perkedel yang sudah siap digoreng. Kentang yang sudah direbus, dihaluskan, lalu dicampur dengan bawang goreng, garam, sedikit penyedap rasa, dan irisan daun seledri. Aromanya sudah menggoda bahkan sebelum masuk ke penggorengan. Namun, tanganku terhenti sejenak. Aku mulai berpikir tentang apa saja yang ada di dalam adonan itu.
Sebelum Menggoreng
Kentang dan daun seledri jelas bahan alami, tapi aku menyadari ada sedikit penyedap rasa yang kutambahkan agar lebih gurih. Penyedap rasa ini adalah salah satu zat aditif yang sering digunakan. Sebenarnya, rasa alami kentang sudah enak, tapi aku ingin rasanya lebih “menggigit”. Saat menaburkan tepung panir di luar adonan, aku juga sadar kalau tepung panir kemasan biasanya mengandung pewarna dan pengawet supaya tahan lama dan tampil menarik.
Sesudah Makan
Beberapa menit kemudian, perkedel matang dengan warna kuning keemasan. Saat aku menggigitnya, rasa gurih langsung memenuhi mulut. Aku puas, tapi refleksi itu kembali muncul—aku sudah memakan zat aditif dari penyedap rasa dan mungkin dari tepung panirnya. Memang, jumlahnya sedikit, tapi jika terlalu sering dikonsumsi, efeknya bisa kurang baik untuk tubuh.
Aku jadi menyadari bahwa makanan yang kita buat sendiri pun bisa mengandung zat aditif, apalagi jika memakai bahan kemasan. Sejak saat itu, aku ingin mencoba membuat perkedel tanpa penyedap rasa, agar gurihnya murni dari bahan alami. Karena pada akhirnya, makanan yang sederhana dan alami bukan hanya menyehatkan tubuh, tapi juga membuat hati lebih tenang.
NAMA:DELISHA MEYLANI
Nama saya Delisha Meylani, saya siswi SMP 17 kelas 9.3. Pagi ini, saya berencana membuat menu sarapan sederhana namun lezat: mie goreng dengan telur.
Pertama-tama, saya menyiapkan mie instan dan merebusnya hingga matang. Setelah itu, saya menambahkan bumbu dapur seperti garam, gula, dan kecap agar rasanya lebih nikmat. Supaya lebih bergizi, saya juga mencampurkan potongan bakso dan wortel yang sudah saya iris tipis.
Sambil menunggu mie siap, saya mulai menggoreng telur. Saya pecahkan satu butir telur ke dalam mangkuk, lalu mengocoknya bersama sedikit bumbu Masako agar gurih. Setelah itu, saya memanaskan teflon dan menuangkan telur kocok, membiarkannya matang dengan aroma yang sangat menggugah selera.
Setelah selesai dimasak, mie goreng dan telur ini saya masukkan ke dalam wadah sebagai bekal. Bekal ini saya bawa ke sekolah untuk makan sarapan pagi di sana. Dari pengalaman ini, saya menyadari bahwa meskipun bekal ini sederhana, beberapa bahan di dalamnya mengandung zat aditif yang berfungsi untuk memberikan rasa, pewarna, dan pengawet.
Nama: MUHAMAD JAHERIN SAMFAYON
Kelas: 9.3
Refleksi Tentang Zat Aditif pada Sarapan Pagi
Zat aditif adalah bahan tambahan yang digunakan dalam makanan untuk berbagai tujuan, seperti mempercantik tampilan, memperkuat rasa, atau memperpanjang masa simpan. Tidak semua zat aditif berbahaya, namun penggunaannya yang berlebihan bisa berdampak buruk bagi kesehatan.
Pagi ini, sarapanku terdiri dari nasi, telur goreng, sayur kangkung tumis, dan lombok. Dari menu ini, aku mencoba mengamati mana yang mengandung zat aditif dan mana yang masih tergolong alami.
Nasi
Nasi putih biasanya tidak mengandung zat aditif jika dimasak dari beras murni dan tanpa campuran tambahan. Makanan pokok ini termasuk sumber energi yang alami dan aman jika dimasak dengan cara yang sehat.
Telur
Telur goreng merupakan makanan alami. Selama tidak menggunakan bumbu instan atau saus tambahan, telur goreng tergolong aman dan bebas dari zat aditif buatan. Rasanya pun tetap lezat meski dimasak sederhana.
Sayur Kangkung Tumis
Sayur kangkung yang ditumis dengan bawang dan garam merupakan makanan sehat dan alami. Jika tidak menggunakan penyedap rasa buatan atau bumbu instan, makanan ini bebas dari zat aditif dan baik untuk tubuh.
Lombok (Cabai)
Lombok atau cabai segar adalah bahan alami yang kaya vitamin, terutama vitamin C. Selama masih dalam bentuk segar dan tidak diawetkan atau diproses berlebihan, lombok tidak mengandung zat aditif.
Kesimpulan
Dari sarapan hari ini, aku menyadari bahwa makanan alami lebih baik dikonsumsi setiap hari. Makanan tanpa zat aditif cenderung lebih sehat dan aman bagi tubuh. Oleh karena itu, penting untuk lebih selektif dalam memilih bahan makanan agar kesehatan tetap terjaga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar