Kamis, 14 Oktober 2021

BULETIN SEVENTEEN : Ceritaku - Sabun dan Terang Bulan

 


SABUN DAN TERANG BULAN

 

“Ibu, Belikan sabun ya.” Pintaku.

Aku menjenggat ibu di depan pagar. Perempuan setengah baya itu  hanya menatapku dengan kening mengkerut.

“Bukanya sabun dï kamar madimu masih ada?”

“Ini bukan untuk mandi bu!”

“Lantas…”

“Ini disuruh pak guru, bu.”

“Memangnya pak gurumu tidak bisa beli sabun mandi?”

“Bukan begitu bu.”

“”Lantas…”

“Ada tugas tentang prakarya.”

“Apa hubungannya prakarya dengan sabun mandi?”

“Bu, please. Belikan saja . Nanti ibu juga akan tau untuk apa.”

“Bilang dulu!”

“Bu, ceritanya bisa panjang.”

“Sabunya yang cair atau yang padat?”

“Padat bu.”

“Warna biru, merah atau putih.”

“Merah.”

“Bentuknya bulat atau persegi?”

“Em…persegi.”

“Aroma yang kamu suka?”

“Lemon saja bu.”

“Berapa banyak?”

“Dua saja.”

“Oke, ibu pergi dulu ya?”

“Eh, ada lagi bu! Maaf.”

“Apa lagi?”

“Terang bulan satu. Rasa keju coklat.”

“Disuruh juga gurumu?”

“Tidak bu. Untuk makan saja.”

“Kamu mau makan sabun campur terang bulan? Jangan nak!”

“Ibu? Bukan begitu bu.”

“Jadi…”

“Sabunnya untuk kerajinan, kalau terang bulannya buat nemanin aku bekerja dong.”

“Anak ini, selalu saja pesan terang bulan. Kamu tidak bosan ya?”

“Tidak dong bu.”

“Sudah ya.  Ibu pergi dulu.”

“Eh bu, boleh satu lagi?”

“Apalagi sih?”

“Kurang Lengkap jika tidak ada susunya nih.”

“Maksudmu?”

“Jika masih ada uangnya, aku minta sebotol susu juga bu.”

“Rasa apa?”

“Coklat bu.”

“Iya, iya.”

“Bu yang ukuran tengah ya?”

“Iya! Pergi dulu.”

“Bu! Sebentar.”

“Apalägi sih?”

Aku berlari kecil mendekatinya. Meraih tangan dan menciumnya. Pelukan eratku membuat tangan perempuan yang aku sayangi itu, membelaiku. Badan baru berbalik setelah dia berlalu di balik tembok.

Sabun itu kita berubah bentuk. Ukiran yang dibuat menjadi indah dipandang. Sebuah bulan sabit terlihat menghias meja belajarku. Aroma lemonya telah merubah susana saat aku belajar. Tugas kerajinan prakarya ini akan disetor sebagai proyek siswa pada hari Kamis. Aku pun sangat senang bisa mengerjakannya tepat waktu.

 

 



Latihan Soal IPA Kelas VIII - Tuas / Pengungkit

 


Pak Andi mengungkit batu seberat 400N dengan tongkat sepanjnag 100cm. beliau meletakkan titik tumpu pada jarak 20cm dari titik beban batu. Berapakah gaya minimal agar batu bisa terangkat?

Kalau kayak gini gimaya ya pak? Mohon bantuannya!

 

Tanggapan :

Berdasarkan soal tersebut, dapat diungkap beberapa fakta nilai yang diketahui yakni :

Gaya beban atau Fb = 400N

Lengan beban atau Lb = 20cm

Karena lengan seluruhnya sepanjang 100cm , maka Lengan kuasa atau LK  diperoleh sebasar 100cm – 20cm = 80cm

Nilai yang dicari adalah gaya kuasa (Fk)…..?

 

Rumus yang dipakai adalah

Fb/Fk  =  Lk/Lb

400N / Fk  =  80cm / 20cm

Sekarang dikalikan silang

80 x Fk = 400N x 20

Fk = 800N/ 80

Fk = 100N

Berarti gaya yang dibutuhkan Pak Andi untuk mengangkat batu hingga tercungkil diatas 100N.

 

 



Selasa, 12 Oktober 2021

BULETIN SEVENTEEN : TUGAS PROYEK PERTAMAKU DI KELAS VIII - SANGGARA BANDA WANGI HIJAU ALA UDIN

 


TUGAS PROYEK PERTAMAKU DI KELAS VIII

 

Ayam berkoko terdengar silih berganti. Rasa mengantuk masih mengekangku untuk bangun. Mata berat untuk dibuka. Aku menarik kembali selimut yang tidak lagi menutupi tubuh seutuhnya. Tiba-tiba suara pintu terdengar dibuka berlahan-lahan.

“Bu, aku masih mengantuk.” Jawabku.

Ibu telah duduk dipiggir ranjang. Perempuan penyayang itu memegang punggungku. Lalu berbisik dengan pelan.

“Udin, katanya mau memasak sarapan pagi sendiri! Kok belum bangun?”

“Ini kan masih gelap?”

“Nih lihat!”

Sebuah jam beker tepat berada di depanku.

“Astaga!”

Aku langsung duduk dan turun cepat dari tempat tidur, tetapi tangan ibu meraih lenganku.

“Shalat subuh dulu. Nanti ibu tunggu di dapar ya!”

“Hum, baiklah bu.” Kataku sambil menguap.

Kecupan kecil menjadi isyarat kasih sayangnya padaku. Setelah membelai rabutku, Wanita lembut itu menghilang dibalik pintu kamar.

 

 

“Bu, dimana kelapanya disimpan?”

“Cari dikulkas bagian bawah!”

“Pisangnya?”

“Ini…”

“Ubi parutnya mana bu?”

“Nak, sini! Lihat, semua sudah dimeja bukan?”

“Wah, terimaksih bu.”

Aku pun mulai membelah pisang menjadi empat bagian. Memotong horizontal lalu vertikal. Sesekali ibu memperhatikan dengan teliti. Kadang dia pun membantu. Perempuan kebangganku itu mulai memasukan air dalam panci. Aku pun langsung mengangkatnya dan menempatkan di atas kompor gas. Tidak lupa saringannya dipasang lalu pemansnya dinyalakan.

Sambil menunggu mendidih, aku mencampurkan ubi parut dengan perasan air suji dan pandan. Ibu menyarakan, memasukan gula pasir sedikit agar terasa manis. Adukan tangan membuatnya menjadi warna hijau yang merata. aku mulai membungkus tiap potongan pisang. Bukan pakai daun, kertas ataupun plastik. Parutan ubi kayu yang telah dipipihkan menjadi mantel tebalnya. Setelah rata, bongkahan pisang ditempatkan dibagian tengah.

Kini bontalan loncong pipih hijau telah banyak. Saat air mulai mendidih, pisang yang telah dibungkus parutan ubi dimasukan dalam panci. Menggu sekitar dua puluh menit, masakan telah matang. Setiap potongan diangkat dengan penjepit lalu diletakkan ditalenan bambu. Setelah agak kering ditaburi parutan kelapa. Setiap potongan dibolak-balik. Tujuannya, agar semua bagian memiliki parutan kelapa.

Sebelum difoto, aku harus menatanya diatas piring. Proses penyajian mendapatkan nilai tersendiri dari guru prakaryaku.

Akhirnya tugas memasak telah dilakukan. Setelah mengrim hasilnya melalui WhatsApp group kelas, aku mengemas beberapa potong untuk kegiatan sarapan pagi di sekolah. Sebotol minuman juga dimasukan ada ransel sekolah.

Setelah mandi, aku mengambil selembar kertas untuk membuat prosedur kerja yang telah dilakukan. Aku memberi nama masakan sarapan pagi ini dengan sebutan Sangara Banda Wangi Hijau Ala Udin. Bau pandan dan warnanya menjadi alasannya. Alat dan bahan serta urutan pembuatannya dituis dengan singkat dan jelas. Ibuku memberikan catatan kecil dan tanda tangan pada kertas itu. Begitulah arahan guruku minggu lalu.

 

 

Hari masih pagi ketika ayahku tiba digerbang sekolah. Setelah berpamitan, aku pun masuk ke ruang kelas. Rupanya bukan aku yang pertama datang. Empat orang rekanku telah duduk manis dibangkunya. Kami pun berbincang tentang menu sarapan pagi hari ini.

Walaupun telah siap disantap namun waktunya belum tiba. Setelah jam istirahat, menjadi janji yang terikrar. Semua menu akan dinilai saat pembelajaran prakarya. Hal ini menjadi tugas proyek kecil untuk penilaian keterampilan. Guruku memberi tema, “Sarapan Pagi dari Menu Kebersamaan di Keluarga.”

Sapaan salam Pak Suhardin mengagetkanku. Ini pertama kali melakukan presentase dalam pembelajaran.

“Kamu jangan takut. Semuanya kan dilakukan sendiri. Jadi bisa diceritakan bukan? Ibu yakin, kamu akan melaluinya dengan baik.” Kata Ibuku.

Itulah nasihat saat aku berpamitan pagi ini. Kata-kata itu bagai sugesti pembangkit semangat. Setelah beberapa teman berbicara, jantungku mulai berdebar keras. Apalagi pak guru merekamnya dengan handphone! Aku menghitung, tinggal dua rekan maka tibalah giliranku.

“Udin, kamu bikin sarapan pagi apa?” Tanya guruku sambil tersenyum.

“Sanggara Banda Wangi Hijau Ala Udin, pak.”

“Wah hebat! Bisa kamu ceritakan bagaima membuat makanan yang luar biasa ini?” 

Akupun mulai beraksi. Perasaan canggung dan gugup menghilang seketika. Walapun kamera sangat dekat dan perhatian kawan-kawanku sangat serius, aku mampu melewatinya dengan penuh ketenangan. Pak Suhardin terus mengangguk dan tersenyum lebar. Guru yang suka humor itu, mengambil sepotong lalu membelahnya. Mengamati bagian dalamnya.

Aku berhenti seketika berbicara. Hal tak terduka akhirnya terjadi. Guruku mengambil garpunya dan mencicipi menu masakan sarapan pagi itu.

“Hum, enak sekali makanan ini. Waktu kecil, bapak sering memakannya.”

“Apakah bapak pernah membuatnya?”

“Bukan hanya membuat nak, bapak dulu penjual sanggara banda.”

Suara riuh di ruang kelas terdengar keras. Aku tidak paham, mengapa mereka rebut seketika. Aku hanya fokus memperhatikan guruku melahap sepotong sanggara banda buatanku.

“Kamu tau, apa artinya sanggara banda?”

“Tidak pak!”

“Sanggara itu artinya pisang. Menurut cerita turun temurun, pisang ini menjadi makanan mewah pada saat itu. bisa dibilang harta yang berharga. Kebanyakan orang Belanda saat penjajahan mengkonsumsi ini. Makanya disebut seperti itu. dalam kamus, banda itu adalah harta.”

Pak guru memang suka membuat muidnya tidak tegang. Setelah bercerita, Beliau membuka daftar nilai. Tangannya menunjuk Muhammad Mauludin. Aku kaget ketika melihatnya menulis angkanya. Setelah menghitungnya, dia memberikan angka 96 untuk menu, sajian dan penampilanku. Hatiku pun sangat senang. Guruku itu akhirnya berlalu dari hadapanku. Acungan jempol dan senyum membekas dipikiranku hingga tiba di rumah. Kesan itu menjadi bahan cerita di meja makan bersama ibu dan ayahku. Kisah yang dibalas senyum oleh keduanya saat makan malam berlangsung.

Terimaksih pak guru. Bapak telah mengajarkan hal yang berarti dalam hidupku.

 




BULETIN SEVENTEEN : GEDUNG BERTINGKAT DIREHAB TAHUN INI

 





Gedung bertingkat menjadi salah satu kebanggaan sarana SMPN 17 Kendari. Ruang belajar berlantai dua ini mulai dirancang semenjak sekolah baru berumur empat tahun. Kini bangunan ini mendapatkan rehab. Posisinya berhadapan dengan ruang kantor dan lapangan upacara. Hal ini menjadi sudut pandang awal memasuki sekolah.

 

Perbaikan ruang kelas ini telah dimulai semenjak bulan Juli 2021. Proyek ini melalui mekanisme tender, ungkap Kepala Sekolah saat berbincang di halaman sekolah. Hal ini akan mempengaruhi enam rombongan belajar dalam kegiatan pembelajaran, lanjutnya. Pembongkaran beberapa elemen gedung menjadi halangan kegiatan pembelajaran terbatas semester ini. Sesuai pemantauan, sarana ini belum bisa dipakai untuk belajar. Bangku dan meja hanya bisa ditempatkan di lapangan upacara. Terpal tebal menjadi pelindungnya dari panas dan hujan.

 

Penempatan matrial juga mengahambat titik kumpul peserta didik. Sekitar 50% lapangan terpakai untuk kegiatan rehab gedung.  Himbauan terus dilakukan untuk berhati-hati saat melintas di lapangan kegiatan itu. Renovasi yang dilakukan memang sangat banyak. Mulai dari atap, koseng, dinding hingga lantai. Perkiraannya, akhir bulan Desember kegiatan pengerjaan akan berahir.

 

Menyiasati pembenahan gedung ini, pengaturan proses belajar dilakukan melalui sift. Setiap kelas hanya mendapatkan kesempatan dua hari untuk melakukan kegiatan tatap muka terbatas. Selebihnya masih dilakukan secara daring (dalam jaringan). Hal ini terlihat jelas dalam jadwal pelajaran yang terpampang di dinding informasi sekolah.

 


Kreasi Pembelajaran dari Botol Bekas