Jumat, 13 Januari 2017

BULETIN SEVENTEEN : PUISI TENTANG SEMUT MERAH



MENGINTIP ULAH SEMUT MERAH
Oleh Suhardin

Meniti Jalan gelap
Menuntun kaki dan antena menjadi arak-arakan
Menyisir kapiler liang-liang sempit
Membuat geng penguasa lahan tumpukan tanah

Mereka para pekerja tangguh
Membagi tugas untuk sejahtera
Mengambil yang kering menumbuhkan benih
Maraih yang kotor menjadi rebutan rambut akar
Mengoyak yang keras menjadi gembur
Membalik dari atas menjadi di bawah
Menaikkan yang tertindis ke atas tanah
Menarik bangkai
Mengubur tulang belulang
Meraih tinja binatang jalang
Mencabik
Mengoyak
Menjadi lahan garapan
Mencegah hamparan mejadi kritis
Membuat sampah menjadi lumbung

Memimpin menjadi Induk yang tau haknya
Menunaikan kewajiban tanpa pamrih dan pilih
Menjaga, membuat sejahtera
Memangku tanpa menindas
Memahami itu penting
Menghilang satu,  runyam semua
Mengaturnya dengan aturan
Membagi jatah dengan adil

Menggigit pengganggu
Menyerang perusuh
Membentengi Sang Ratu
Menjaga keutuhan
Membentang kuasa bersama

CERPEN 8



Lebaran berarti kegembiraan tersendiri bagi anak-anak Lahontohe. Bukan hanya gembira telah berpuasa selama sebulan, akan tetapi santapan masakan dari beras menjadi hidangan istimewa yang telah lama dinanti. Namun suasana berseri-seri seakan menjauh dari wajah Wa Sule. Dia Duduk di pondok kecilnya, memangku nyiru dengan tumpukan jagung yang baru saja di penen oleh kedua orang tuanya. Kegagalan panen padi ladang yang ditanamnya menjadi penyebab kesusahan hatinya.
Wa Tabe datang menjenguknya siang itu. Kedatangan sahabatnya itu membuatnya bertambah gusar.
“Dimana Wa Sule, bu?” Tanya Wa Tabe pada ibu Wa Sule.
“Itu, sedang menapis jagung di pondok!” Kata ibu Wa Sule sambil menunjuk ke arah pondok kecilnya.
“Sule…oh Wa Sule…! Teriak Wa Tabe dari kejauhan.
“Kemarilah, Tabe…! Jawab Wa Sule dengan agak berteriak.
Jalan menanjak membuat Wa Tabe kelelahan saat sampai di pondok kecil itu. Setelah mengambil beberapa tarikan napas dan menghembuskannya, dia pun mulai membantu sahabatnya itu untuk melepaskan setiap butir jagung dari tongkolnya.
“Apakah rencana kita besok jadi?” Tanya Wa Tabe.
“Rencana apa?”
“Masa kamu bisa lupa?”
“Bisa saja kan aku lupa.”
“Kok, menjawabnya malas begitu?”
“Ingatkanlah supaya aku menjawabnya dengan semangat.”
“Bukankah kamu yang membuat rencana itu?”
“Ih…rencana apakah?”
“Kita mau lebaran di pusat kampung kan?”
“Kalian sajalah yang ke sana.”
“Memangnya kamu mau berlebaran di kebun yang sunyi ini?”
“Aku akan ke pusat kampung saat hari lebaran saja.”
“Kok, jadi berubah pikiran?”
“Aku tidak berubah pikiran. Aku tetap berlebaran di sana hanya ke sananya nanti hari lebaran.”


Rabu, 11 Januari 2017

CERPEN 7



Sorot matanya sayup dan kedua telapak tangannya berusaha menindih perutnya yang kian kempis. Dia duduk di atas batu menghadap ke pondoknya yang hampir roboh. Sudah dua hari makanan tak kunjung masuk dalam perutnya. Bukan karena penyakit akan tetapi semua yang tersisa di para-para telah dirampas algojo penarik pajak penjajah. Akal pikiranya menyusut dan menyamarkan kepekaan telinga sehingga panggilan ibunya terdengar samar.
“Bose…, Bose…, oh La Bose?” Ibunya memangilnya berali-kali.
“Iya Ina!” Jawabnya sambil berlari mendekati ibunya.
“Kamu lapar ya?”
“Iya Ina. Perutku sejak semalam berbunyi terus dan agak sakit.”
“Ikutlah denganku ke hutan, bawalah tombakmu. Kita akan mencari makanan sambil berburu.”
Semenjak ayahnya meninggal dia sangat bergantung pada jerih payah ibunya. Mereka hidup sangat sederhana. Pakaian penutup tubuh pun terkadang digunakan saling bergantian. Jalan menuju hutan yang berintang  duri ilalang dan gititan serangga, tidak diperdulikan oleh kedua insan yang kelaparan itu. Tujuannya hanya satu, mendapatkan makanan secapatnya.
Ina menunduklah cepat.”
“Ada apa Bose?” Tanya ibunya dengan berbisik.
“Sepertinya kita akan mendapatkan hewan buruan.”
Ancang-ancang diambilnya dengan berlahan. Balase yang dijinjingnya dilepaskan dengan hati-hati. Sorot matanya tajam tak terpejam, menatap sasaran yang akan ditombaknya. Saat pikiran dan raganya siap, tiba-tiba seekor kupu-kupu menghinggap tepat dihidungnya. Sayap kupu-kupu yang mengambang menghalau pandangannya.
“Ah…, kupu-kupu ini telah menyebabkan sasaranku meleset.” Kata La Bose sambil memegang sayap kupu-kupu itu.
“Sudalah, itu berarti belum rezeki.”
“Tapi kupu-kupu ini harus menerima balasanya.”
“Bose, lepaskanlah! Janganlah kamu membunuhnya. 
KISAH SELANJUTNYA......TUNGGU BUKUNYA TERBIT YA...

TEACHER SUPERCAMP 2016




Zahro Nur Aisyah - Menyaring Air dari Botol Plastik Bekas (Cerita Refleksi Terbaik)

  Pagi itu, pada pukul 07.00, udara masih terasa sejuk di lingkungan sekolah. Bel tanda dimulainya pelajaran pertama telah berbunyi, dan sua...